Kurang
piknik. Begitulah judulnya. Selama 7 bulan perantauan di ibu kota, saya baru
dua kali pergi ke dua daerah selain kampung halaman, yaitu Pulau Harapan
[Kepulauan Seribu] dan kota dawet: Banjarnegara. Berhubung saya belum pernah
mempublikasikannya di blog pinggiran ini, untuk mengisi waktu luang, maka saya
akan menceritakannya kepada anda sekalian. Di mulai dari pulau Harapan.
Sebagian
orang mungkin memiliki ekspektasi lebih terhadap pulau yang terletak gugusan
Kepulauan Seribu ini. Yah, namanya saja pulau Harapan, tentu harapannya yang
bagus-bagus dong ya. Faktanya, jika kita menelusurinya lewat internet, yang
tampak dari pulau Harapan memang hanya keindahan semata.
www.yuktravel.com
Secara
administratif, pulau Harapan masuk wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu
Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu. Pulau Pelemparan, demikian nama lain pulau
ini disebut, membawahi 30 gugusan pulau dan masuk dalam kawasan Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu, dengan status tanah milik pemerintah daerah dan tanah
adat.
Perjalanan
ke pulau Harapan saya lakukan sekitar bulan Mei lalu. Tak banyak yang saya
siapkan karena kunjungan ke sana merupakan penugasan dari kantor tempat saya
menimba pundi-pundi uang ilmu.
Walhasil, saya hanya menyiapkan barang-barang seperlunya: celana dua potong,
kaus dan "jeroan" dua potong, dan perlengkapan mandi. Tetek mbengek semacam ongkos transportasi dan
lokasi penginapan, saya tidak mengurusi karena itu sudah menjadi tanggung jawab
Yayasan Terumbu Karang Indonesia, selaku pihak pengundang.
Perjalanan
ke pulau yang jaraknya sepelemparan batu dari Jakarta ini dimulai dari
Dermaga 17, Marina, Ancol. Dari sini biasanya hanya ada sarana transportasi speed boat, sementara jika ingin menggunakan alternatif kapal
motor kita perlu ke dermaga Muara Angke.
Setelah
membayar biaya retribusi Ancol sebesar Rp. 25.000, saya bergegas menuju Dermaga
17. Untuk menuju ke sana kita mesti berjalan beberapa menit, namun ada
alternatif lain seperti angkutan ojek dengan tarif sekitar Rp. 10.000 rupiah
sekali jalan.
Tepat pukul 08.30, kapal
cepat bernama Predator menyalakan dua buah mesin penggeraknya. Fasilitas kapal
cepat ini cukup memadai. Selain pendingin udara, kursi yang nyaman dan toilet
bersih, kapal ini juga dilengkapi televisi layar datar, lengkap dengan
perangkat sound system-nya .
Untuk menebus fasilitas tersebut, biaya yang harus kita
keluarkan cukup besar, yakni sekitar Rp. 270.000 per orang. Namun, biaya mahal
tersebut berbanding lurus dengan apa yang kita didapatkan. Selain kenyamanan,
waktu tempuh yang lebih sedikit [2 jam] juga menjadi nilai lebih.
Bila
ingin menekan biaya akomodasi, kita bisa menggunakan kapal motor melalui
dermaga Muara Angke. Cukup dengan mahar Rp. 60.000, kita bisa bervakansi ria
tanpa menguras isi dompet. Tapi, kita juga harus siap dengan segala
konsekuensinya seperti waktu tempuh yang lebih lama [4 jam] hingga faktor
kenyamanan dan keamanan yang biasanya terabaikan.
Waktu
menunjukkan pukul 09.52, ketika kapal yang saya tumpangi bersama anggota
Terumbu Karang Indonesia (Terangi) dan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati)
merapat ke dermaga pulau Harapan. Suasana liburan--yang kalau boleh dikatakan
seperti suasana mudik lebaran--langsung terasa ketika mendapati sisi dermaga
dipadati lautan manusia.
Jauh
dari harapan ketika kita menyaksikan foto-foto indah nan menggoda pulau Harapan
dari dunia maya, pulau Harapan sejatinya tidak menawarkan apa-apa, selain
tempat singgah dan beristirahat. Objek wisata yang ada di foto-foto tersebut, sebenarnya merupakan pulau-pulau "satelit" ada di sekitar pulau Harapan. Maka, jangan
berharap memegang lembutnya pasir pantai dan indahnya matahari terbenam jika
tak beranjak dari Harapan.
Spot wisata
yang bisa dikunjungi terdapat di pulau Bira Besar, Kayuangin Panjang, Kayuangin
Genteng, Putri, Gosong, dan pulau Bulat.
Menurut
informasi yang saya dapat dari nelayan sekitar, beberapa pulau tersebut seperti Kayuangin Panjang, Putri, dan pulau Bulat, telah dimiliki oleh
pihak swasta. Beberapa diantaranya ada yang terawat dan tidak terawat.
“Kalaupun ada yang merawat, biasanya hanya penjaga. Pemiliknya jarang
kelihatan,” kata seorang nelayan yang menolak memberitahu identitasnya.
Saya mendapat jatah mengunjungi Bira Besar dan Kayuangin Genteng. Untuk menuju ke sana,
bisa menyewa perahu nelayan dengan estimasi biaya Rp. 350.000 hingga Rp. 400.000 untuk pulang pergi.
Di Bira Besar, kita bisa mencoba olahraga air yang memacu
adrenalin seperti fly fish, banana boat, watersofa, donuts, canoeing, dan diving. Tarif yang dikenakan untuk mencoba permainan
tersebut sekitar Rp 35.000 per orang.
Di pulau Kayuangin Genteng, yang menjadi tujuan wisata utama di
pulau Harapan, kita baru mendapati keindahan pantai berpasir putih. Di pulau
ini saya menyaksikan keindahan terumbu karang dan biota laut melalui kegiatan snorkeling dan diving.
Perawatan terumbu karang artifisial [dok. Kehati]
Saya dan beberapa kawan dari Terangi mencoba snorkeling di pulau ini. Snorkeling hanya dilakukan di bibir pantai
karena kondisi laut ketika itu kurang bersahabat, ombaknya cukup besar. Meski
di bibir pantai, kita bisa menyaksikan kumpulan terumbu karang yang indah. Serpihan-serpihan
terumbu karang yang hancur berbaur dengan pasir pantai membentuk ornamen yang
bisa dijadikan buah tangan.
Salah satu kegiatan dalam acara Coral Day [dok. Kehati]
Bila segan menyentuh air laut yang asin, kita bisa menikmati
pesona alam pulau Kayuangin Genteng. Di sini banyak spot untuk anda-anda yang narsis dan gemar selfie. Ada jembatan panjang yang menjorok ke laut.
Ada pula pohon-pohon besar nan rindang yang bisa dijadikan latar belakang foto.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari aspek kuliner. Selain
karena saya tidak terlalu suka makanan laut, tampaknya juga tak banyak pedagang
yang menjajakan seafood.
Di Pulau Harapan banyak gerobak pedagang kaki lima yang
menjajakan makanan khas “masyarakat darat”. Ada cimol, batagor, roti bakar, mi
ayam, hingga es krim cone.
Harganya variatif, mulai dari Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000.
Selama
dua hari satu malam di pulau Harapan, saya merasakan masih banyak sisi yang
harus dibenahi pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan. Hal utama yang
harus segera ditangani adalah pengelolaan sampah, jaringan komunikasi, dan
ketersediaan air bersih.
Pengarahan sebelum kegiatan bersih-bersih pantai [dok. Kehati]
Sepanjang
pengamatan saya, masih banyak sampah bertebaran, terutama menuju ke kawasan
tanaman mangrove. Air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga masih jauh dari
layak. Jaringan komunikasi pun amar buruk untuk ukuran wilayah yang tak terpencil-terpencil amat.
Di
pulau yang hanya berjarak puluhan kilometer dari ibu kota Jakarta, kehadiran
negara masih direpresentasikan dengan penempatan personel militer sekelas
marinir. Hal itu tidak keliru, sebab jalur laut di sekitar pulau Harapan kerap
digunakan untuk aksi kejahatan seperti jalur distribusi narkoba.
Kehadiran
negara sejatinya akan lebih bermakna, jika pemerintah mampu menyediakan fasilitas yang lebih
layak untuk kepentingan warga dan wisatawan.
Sebagai
bagian dari kawasan taman nasional, pulau Harapan memang menjadi target utama
untuk dijadikan kawasan konservasi sekaligus tujuan wisata. Beberapa organisasi
nonpemerintah seperti Terangi dan Kehati memulai dengan mengedukasi masyarakat
akan pentingnya terumbu karang dan tanaman mangrove sebagai aset lingkungan dan
pariwisata.