Rabu, 23 Desember 2015

Rayuan Pulau Harapan

Kurang piknik. Begitulah judulnya. Selama 7 bulan perantauan di ibu kota, saya baru dua kali pergi ke dua daerah selain kampung halaman, yaitu Pulau Harapan [Kepulauan Seribu] dan kota dawet: Banjarnegara. Berhubung saya belum pernah mempublikasikannya di blog pinggiran ini, untuk mengisi waktu luang, maka saya akan menceritakannya kepada anda sekalian. Di mulai dari pulau Harapan.
Sebagian orang mungkin memiliki ekspektasi lebih terhadap pulau yang terletak gugusan Kepulauan Seribu ini. Yah, namanya saja pulau Harapan, tentu harapannya yang bagus-bagus dong ya. Faktanya, jika kita menelusurinya lewat internet, yang tampak dari pulau Harapan memang hanya keindahan semata.
 www.yuktravel.com
Secara administratif, pulau Harapan masuk  wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu. Pulau Pelemparan, demikian nama lain pulau ini disebut, membawahi 30 gugusan pulau dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, dengan status tanah milik pemerintah daerah dan tanah adat.
Perjalanan ke pulau Harapan saya lakukan sekitar bulan Mei lalu. Tak banyak yang saya siapkan karena kunjungan ke sana merupakan penugasan dari kantor tempat saya menimba pundi-pundi uang ilmu. Walhasil, saya hanya menyiapkan barang-barang seperlunya: celana dua potong, kaus dan "jeroan" dua potong, dan perlengkapan mandi. Tetek mbengek semacam ongkos transportasi dan lokasi penginapan, saya tidak mengurusi karena itu sudah menjadi tanggung jawab Yayasan Terumbu Karang Indonesia, selaku pihak pengundang.       
Perjalanan ke pulau yang jaraknya sepelemparan batu dari Jakarta ini  dimulai dari Dermaga 17, Marina, Ancol. Dari sini biasanya hanya ada sarana transportasi speed boat, sementara jika ingin menggunakan alternatif kapal motor kita perlu ke dermaga Muara Angke. 
Setelah membayar biaya retribusi Ancol sebesar Rp. 25.000, saya bergegas menuju Dermaga 17. Untuk menuju ke sana kita mesti berjalan beberapa menit, namun ada alternatif lain seperti angkutan ojek dengan tarif sekitar Rp. 10.000 rupiah sekali jalan.  
Tepat pukul 08.30kapal cepat bernama Predator menyalakan dua buah mesin penggeraknya. Fasilitas kapal cepat ini cukup memadai. Selain pendingin udara, kursi yang nyaman dan toilet bersih, kapal ini juga dilengkapi televisi layar datar, lengkap dengan perangkat sound system-nya .
Untuk menebus fasilitas tersebut, biaya yang harus kita keluarkan cukup besar, yakni sekitar Rp. 270.000 per orang. Namun, biaya mahal tersebut berbanding lurus dengan apa yang kita didapatkan. Selain kenyamanan, waktu tempuh yang lebih sedikit [2 jam] juga menjadi nilai lebih.
Bila ingin menekan biaya akomodasi, kita bisa menggunakan kapal motor melalui dermaga Muara Angke. Cukup dengan mahar Rp. 60.000, kita bisa bervakansi ria tanpa menguras isi dompet. Tapi, kita juga harus siap dengan segala konsekuensinya seperti waktu tempuh yang lebih lama [4 jam] hingga faktor kenyamanan dan keamanan yang biasanya terabaikan.
Waktu menunjukkan pukul 09.52, ketika kapal yang saya tumpangi bersama anggota Terumbu Karang Indonesia (Terangi) dan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) merapat ke dermaga pulau Harapan. Suasana liburan--yang kalau boleh dikatakan seperti suasana mudik lebaran--langsung terasa ketika mendapati sisi dermaga dipadati lautan manusia.
Jauh dari harapan ketika kita menyaksikan foto-foto indah nan menggoda pulau Harapan dari dunia maya, pulau Harapan sejatinya tidak menawarkan apa-apa, selain tempat singgah dan beristirahat. Objek wisata yang ada di foto-foto tersebut, sebenarnya merupakan pulau-pulau "satelit" ada di sekitar pulau Harapan. Maka, jangan berharap memegang lembutnya pasir pantai dan indahnya matahari terbenam jika tak beranjak dari Harapan.
Spot wisata yang bisa dikunjungi terdapat di pulau Bira Besar, Kayuangin Panjang, Kayuangin Genteng, Putri, Gosong, dan pulau Bulat.
Menurut informasi yang saya dapat dari nelayan sekitar, beberapa pulau tersebut seperti Kayuangin Panjang, Putri, dan pulau Bulat, telah dimiliki oleh pihak swasta. Beberapa diantaranya ada yang terawat dan tidak terawat. “Kalaupun ada yang merawat, biasanya hanya penjaga. Pemiliknya jarang kelihatan,” kata seorang nelayan yang menolak memberitahu identitasnya.
Saya mendapat jatah mengunjungi Bira Besar dan Kayuangin Genteng. Untuk menuju ke sana, bisa menyewa perahu nelayan dengan estimasi biaya Rp. 350.000 hingga Rp. 400.000 untuk pulang pergi.
Di Bira Besar, kita bisa mencoba olahraga air yang memacu adrenalin seperti fly fish, banana boat, watersofadonuts, canoeing, dan diving. Tarif yang dikenakan untuk mencoba permainan tersebut sekitar Rp 35.000 per orang.
Di pulau Kayuangin Genteng, yang menjadi tujuan wisata utama di pulau Harapan, kita baru mendapati keindahan pantai berpasir putih. Di pulau ini saya menyaksikan keindahan terumbu karang dan biota laut melalui kegiatan snorkeling dan diving.
Perawatan terumbu karang artifisial [dok. Kehati]
Saya dan beberapa kawan dari Terangi mencoba snorkeling di pulau ini. Snorkeling hanya dilakukan di bibir pantai karena kondisi laut ketika itu kurang bersahabat, ombaknya cukup besar. Meski di bibir pantai, kita bisa menyaksikan kumpulan terumbu karang yang indah. Serpihan-serpihan terumbu karang yang hancur berbaur dengan pasir pantai membentuk ornamen yang bisa dijadikan buah tangan.
Salah satu kegiatan dalam acara Coral Day [dok. Kehati]
Bila segan menyentuh air laut yang asin, kita bisa menikmati pesona alam pulau Kayuangin Genteng. Di sini banyak spot untuk anda-anda yang narsis dan gemar selfie. Ada jembatan panjang yang menjorok ke laut. Ada pula pohon-pohon besar nan rindang yang bisa dijadikan latar belakang foto.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari aspek kuliner. Selain karena saya tidak terlalu suka makanan laut, tampaknya juga tak banyak pedagang yang menjajakan seafood.
Di Pulau Harapan banyak gerobak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan khas “masyarakat darat”. Ada cimol, batagor, roti bakar, mi ayam, hingga es krim cone. Harganya variatif, mulai dari Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000.
Selama dua hari satu malam di pulau Harapan, saya merasakan masih banyak sisi yang harus dibenahi pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan. Hal utama yang harus segera ditangani adalah pengelolaan sampah, jaringan komunikasi, dan ketersediaan air bersih.
Pengarahan sebelum kegiatan bersih-bersih pantai [dok. Kehati] 
Sepanjang pengamatan saya, masih banyak sampah bertebaran, terutama menuju ke kawasan tanaman mangrove. Air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga masih jauh dari layak. Jaringan komunikasi pun amar buruk untuk ukuran wilayah yang tak terpencil-terpencil amat.
Di pulau yang hanya berjarak puluhan kilometer dari ibu kota Jakarta, kehadiran negara masih direpresentasikan dengan penempatan personel militer sekelas marinir. Hal itu tidak keliru, sebab jalur laut di sekitar pulau Harapan kerap digunakan untuk aksi kejahatan seperti jalur distribusi narkoba.
Kehadiran negara sejatinya akan lebih bermakna, jika pemerintah mampu menyediakan fasilitas yang lebih layak untuk kepentingan warga dan wisatawan.
Sebagai bagian dari kawasan taman nasional, pulau Harapan memang menjadi target utama untuk dijadikan kawasan konservasi sekaligus tujuan wisata. Beberapa organisasi nonpemerintah seperti Terangi dan Kehati memulai dengan mengedukasi masyarakat akan pentingnya terumbu karang dan tanaman mangrove sebagai aset lingkungan dan pariwisata.

Selasa, 15 Desember 2015

Kisah Para Tahanan Politik Digul

Kamp Digul
Digul adalah penjara alam bagi kelompok pergerakan yang menentang kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan kondisi alam yang ganas dan terpencil di pedalaman Papua, Digul menjadi mimpi buruk bagi siapa saja yang dibuang ke tempat ini.
Kamp konsentrasi Digul didirikan untuk mengganti metode pengasingan ke luar negeri. Segera setelah meletus pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926-1927, pemerintah kolonial Belanda menjadikan Digul sebagai tempat hukuman utama bagi ribuan tahanan politik.
Selain mendapat perlakuan kasar, para tahanan politik di Digul harus melakukan kerja paksa membabat hutan dan membuka ladang. Mereka juga mesti berhadapan dengan kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Mulai dari serangan malaria hingga ancaman serangan penduduk lokal.
Beberapa dari tawanan tersebut kemudian mengabadikan pengalaman mereka dalam tulisan. Para bekas tawanan yang biasa disebut Digulis seperti Abdoel Karim, Wiranta, Manu Turoe, Oen Bo Tik, dan satu orang anonim, menarasikan pengalaman mereka dalam bentuk roman sejarah.
Karya-karya mereka kemudian dipersatukan dan dihimpun dalam sebuah buku oleh Pramoedya Ananta Toer. Motif Pram dalam menyusun kumpulan roman ini dilandasi ketertarikan pada buku Minggat dari Digul. Buku karya anonim itu memperlihatkan foto-foto penduduk asli Digul berkulit gelap, rambut keriting, dan tubuh yang hampir telanjang bulat. Para tahanan politik Digul menyebut mereka suku Kayakaya.
Di halaman lain, Pram juga disuguhi foto-foto mengenai kondisi alam Digul dengan sungai-sungai yang lebar dan hutan lebat. “Semenjak itu pesona Digul tidak pernah surut, dan menempati sebuah pojok khusus dalam hidup saya,” kata Pram dalam pengantarnya.
Kumpulan naskah dari lima penulis ini, menurut Pram, layak mendapat tempat dalam sejarah sastra dan bahasa Indonesia. Sebab, penggunaan bahasa Melayu/Indonesia dalam tiap narasinya secara tidak langsung memberi sumbangsih terhadap pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia.
Karya-karya seperti “Minggat dari Digul”, Antara Hidup dan Mati”, atau “Buron dari Boven Digul” karya Wiranta, misalnya, menggambarkan perjuangan berat para penulisnya dalam menggunakan bahasa Melayu/Indonesia, yang notabene bukan bahasa ibu mereka.
Satu karya yang tampak menjadi unggulan dalam kumpulan tulisan ini adalah “Pandu Anak Buangan” karya Abdoel Karim. Bagi Pram, karya ini menjadi sangat penting, setidaknya hingga 1945, karena satu-satunya produk sastra yang bertema psikologi.
Dalam tulisan itu Karim menggunakan tokoh Pandu sebagai sudut pandang orang ketiga untuk menceritakan pengalamannya selama menjadi tahanan politik Digul. Karya ini memberikan gambaran mengerikan tentang Digul.
Ancaman penyakit ganas, suku-suku pemangsa manusia, dan terasing dari peradaban adalah puncak ketakutan dari perjalanan penuh marabahaya menuju Digul. Saking ganasnya tempat ini, pemerintah kolonial Belanda jarang memberlakukan hukuman mati pada para tahanan. Mereka dibiarkan disiksa oleh alam.
Buku kumpulan cerita ini dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami berkat sentuhan Pram. Beberapa narasi memang sulit dimengerti karena penulisnya belum familiar dengan bahasa Melayu/Indonesia saat itu. Namun buku ini setidaknya telah memberikan pelajaran dan bahan renungan kepada kita tentang perjuangan mencapai kemerdekaan hidup sebagai manusia dan bangsa.
Judul                      : Cerita dari Digul
Penyunting             : Pramoedya Ananta Toer
Tahun                     : 2015
Halaman                 : xxiv + 192
Penerbit                  : Kepustakaan Populer Gramedia

Sabtu, 21 Juni 2014

Van-gaalisme dan Kehancuran “Total Football”



         Mayoritas pecinta sepak bola dunia sampai detik ini mungkin masih belum percaya dengan skor destruktif yang dibukukan Timnas Spanyol kala dipecundangi Timnas Belanda 1-5. Di laga pembuka grup b yang dihelat sabtu pagi tersebut, Timnas Belanda yang berada di bawah komando Louis van Gaal telah menciptakan sebuah antitesis yang benar-benar menghancurkan ramalan para pengamat sepak bola dan bursa taruhan. Sang juara bertahan kini benar-benar dipermalukan oleh tim yang dipecundanginya empat tahun silam di laga pamungkas World Cup 2010. Sementara sang pemenang menolak status laga revans, berbagai pihak masih berpatokan pada mitos kecenderungan penurunan performa Timnas Belanda menjelang berakhirnya turnamen dan peningkatan performa Timnas Spanyol yang selalu diawali kekalahan di laga pembuka.
            Lalu apa sebenarnya penyebab tragedi tersebut? Kecerdasan van Gaal dalam meramu strategi atau kenaifan seorang Vicente del Bosque dengan platform tiki-takanya. Banyak spekulasi bermunculan, namun yang pasti perjudian van Gaal terhadap pemain muda Belanda menjadi kartu as yang mengalahkan perjudian del Bosque terhadap “anak-anak” la masia plus Diego Costa. Daley Blind, Daryl Janmaat, Bruno Martins, dan Jermain Lens nyatanya menampilkan performa lebih baik ketimbang Xavi, Iniesta, Pique, dan santo Iker. Duo Robben-Persie pun lebih bersinar daripada individualisme Diego Costa yang hanya menghasilkan skor penalti plus cercaan dari masyarakat Brazil di sepanjang laga.
            Sebelumnya Spanyol belum pernah menerima penghinaan sebesar ini sejak Skotlandia membombardir la furia roja 6-2 di ajang internasional tahun 1963. Selain itu, Spanyol juga pernah dipermalukan Brazil 4-0 pada pagelaran Piala Konfederasi tahun lalu. Fakta menarik lainnya adalah gol-gol yang dilesakkan van Persie dkk ke gawang Casillas lebih banyak tiga gol dari rekor kebobolan Timnas Spanyol disepanjang turnamen Piala Dunia 2010 lalu. Sementara itu, satu-satunya gol Spanyol yang dicetak dari titik penalti oleh Xabi Alonso pada laga itu merupakan gol penalti pertama Spanyol di Piala Dunia sejak David Villa melakukannya pada Juni 2006 ketika bersua Prancis.
            Bagus buruknya performa Spanyol di sembarang turnamen tampaknya bisa dilihat dari rekam jejak Barcelona di kompetisi domestik maupun Eropa. Maklum saja, sebagian besar amunisi Timnas Spanyol disesaki oleh para punggawa blaugrana yang dianggap sudah jadi dengan permainan tiki-takanya. Barcelona dianggap sebagai tim yang mengadopsi gaya permainan total football milik Belanda, dengan pasing-pasing pendek nan cepat serta pergerakan pemain yang tidak terduga nan mematikan, nama Barcelona mulai melegenda. Adalah Johan Cruyff “putra” sang Rinus Michels yang membawa virus tersebut ke tubuh Barcelona ketika menjadi pelatih pada kurun 1988-1996, dengan gaya bermain seperti itu Johan Cruyff berhasil membawa Barcelona meraih supremasi tertinggi ajang kompetisi klub Eropa (Liga Champions) untuk pertama kalinya pada tahun 1992. Gaya tiki-taka terus dikembangkan oleh Barcelona dengan memanfaatkan dutch connection sebagai pemilik sah gaya permainan tersebut. Louis van Gaal (1997-2000 dan 2000-2003) dan Frank Rijkaard (2003-2008) adalah dua nama Belanda terakhir yang mengentalkan gaya total footbal Barcelona, sebelum mereka menyerahkannya ke putra Catalan asli, Pep Guardiola (2008-2012).
            Berpuluh tahun lamanya gaya “total football” Barcelona mendominasi dan menjadi favorit bagi kalangan pecinta sepak bola dunia sampai akhirnya the special one, Jose Mourinho menemukan formula untuk mengganyang permainan sepak bola indah tersebut. Mourinho menamakannya taktik “parkir bus” bahkan “parkir pesawat”, sejak kemunculannya pada 2010 lalu ketika Mourinho menukangi Internazionale Milano, hingga saat ini teori itu begitu populer dan banyak diadopsi klub-klub besar Eropa ketika mereka bersua Barcelona.

Kegagalan Tiki-Taka dan Kejeniusan van Gaal
            Sejak Luiz Aragonez membawa Spanyol merengkuh gelar kedua Piala Eropa pada 2008 silam hingga del Bosque mempersembahkan trophy Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, Spanyol masih bermain dengan cara yang sama, tiki-taka atau tidak sama sekali. Kedua pelatih itu seperti tidak melakukan perubahan apa-apa dalam hal taktikal karena komposisi Timnas Spanyol hampir separuh lebih diisi oleh anak-anak Barcelona. Seiring berjalannya waktu, tiki-taka yang menjadi madzhab permainan Barcelona pun perlahan mulai merapuh. Bahkan, tak perlu strategi rendahan semacam “parkir bus” untuk menaklukan Barcelona, dengan permainan keras dan rapat pun Barcelona dapat ditaklukan sesukanya seperti yang sudah dilakukan Atletico Madrid dan Bayern Munchen.
            Musim ini Barcelona mencapai titik nadir dengan ketidakmampuan memenangkan satu pun trophy mayor. Hal itu tentunya berdampak ke Timnas Spanyol arahan del Bosque. Meski demikian, del Bosque masih percaya “magis” tiki-taka dengan memasukkan para pemain yang sedang kehilangan musimnya semacam Pique, Alba, Busquets, Xavi, maupun Iniesta ke dalam starting eleven, dan mengabaikan bakat Koke, Isco, ataupun Illaramendi yang sedang mengalami musim bagus bersama klubnya masing-masing. Hingga tiba saatnya laga pembuka Piala Dunia 2014 melawan Belanda, semua kondisi sepertinya masih baik-baik saja-saja, bursa taruhan dan para pengamat pun masih mengunggulkan anak-anak del Bosque untuk memenangi laga tersebut. Sementara, hanya sedikit yang menjagokan van Gaal dengan para pemain mudanya.
            van Gaal sadar bahwa menghadapi Spanyol dengan formasi 4-3-3 hanya akan menjadikan anak asuhnya seperti kucing yang mengejar bola. Oleh sebab itu, ia memakai taktik yang berbeda, yaitu 5-3-2. Secara kasat mata, formasi tersebut seperti sebuah formasi defensif menjurus “parkir bus”. Namun, dalam prakteknya di lapangan yang terjadi sangat berbeda. Para pemain Belanda tidak bermain parkir bus, tapi seperti yang diucapkan oleh van Gaal, “kami akan bermain seperti Atletico. Sementara, Spanyol berkeras dengan gaya permainan “aslinya”, senada dengan ucapan del Bosque, “Tim Spanyol menyatu dengan sempurna, baik di dalam maupun luar lapangan, ini membuat setiap pembicaraan tentang taktik tidak terlalu diperlukan, dan keberhasilan yang kami raih membuktikan kami tepat”.
            Del Bosque sepertinya tidak sadar bahwa lawan yang sedang dihadapinya adalah Belanda asuhan van Gaal yang notabene suksesor Cruyff di Barcelona, dan paham betul luar dalam taktik tiki-taka. Walhasil, dengan skuat yang tidak terlalu mewah, Belanda mampu membungkam perlawanan Spanyol sekaligus menuntaskan dendam Johanesburg.     

Minggu, 18 Mei 2014

Sarjana



            Bicara mengenai gelar atau seseorang yang menyandang gelar sarjana, apa yang terlintas dalam benak kita kala menjumpai kata sakral tersebut?. Menurut saya pribadi, seorang sarjana adalah mahasiswa yang telah pensiun sebagai agen perubahan, agen MLM, agen penyumbang kemacetan, ataupun agen pemasok pelanggan angkringan. Dalam perspektif lain mereka bisa juga disebut sebagai manusia berusia kepala dua yang telah terlepas dari beban—beban biaya kuliah, beban fotokopi materi-materi kuliah, beban mental atau psikis, dan tentunya beban orang tua. Melalui upacara seremonial semacam prosesi wisuda, mereka dikukuhkan sebagai ilmuwan tingkat satu—yang nampak gamang ketika ingin melanjutkan ke tingkat dua, dan nampak gusar ketika dua bulan belum mendapat pekerjaan.
            Kembali ke proses untuk menjadi sarjana, bagi mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi, hari-hari pasca sidang skripsi adalah masa-masa yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Persetan dengan nilai, asal tidak dapat nilai C dan sebangsanya saja, maka itu sudah cukup dari lebih. Memberi kabar kepada orang tua dan sanak saudara rasanya lebih penting dari hal itu. Poros dosen pembimbing-mahasiswa-perpustakaan pun akan segera bubar seiring dengan berakhirnya kontrak kerja sama di antara ketiganya. Jalinan yang selama ini terputus juga akan tersatukan kembali, tali silaturahmi bersama kawan-kawan satu angkatan maupun satu kontrakan kembali disambung-sambungkan, tawaran jalan-jalan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan menjadi pelipur lara bagi tubuh-tubuh yang didzalimi kopi dan setumpuk referensi dalam masa ratusan hari.   
            Detil-detil kecil menjadi sangat diperhatikan. Segala hutang menjadi wajib dibayar, segala piutang menjadi wajib ditagih. Laman akademik menjadi pusat perhatian. Mana nilai mata kuliah yang harus dibuang, mana yang wajib dipertahankan statusnya. Sharing dan komunikasi dengan kawan sependadaran kian intensif dan menggelora. Dalam benak, para calon sarjana akan merasa berbangga dan merasa wajib untuk memberi petuah-petuah dan tips-tips kepada adik angkatan atau kawan seangkatan yang masih terjerat belenggu skripsi. Mereka-mereka si calon pengangguran pasti akan membesarkan hati para penanti tanggal ujian, bahwa mereka bisa menyusul wisuda periode berikutnya.
            Sebelum tiba waktunya penasbihan gelar sarjana, para calon sarjana akan berada dalam ruang hampa. Tersudut dalam kamar-kamar kontrakan, tersibukkan dengan berkas-berkas lamaran pekerjaan, kerja paruh waktu, maupun sekedar mengisi kekosongan waktu di kampung halaman. Status mahasiswa telah hilang bersama dengan raibnya kartu tanda mahasiswa dan kartu-kartu perpustakaan. Nilai-nilai idealisme yang sempat bercokol di pundak mahasiswa semasa beralmamater, kini perlahan terkikis, menipis, hingga akhirnya habis ditelan sistem industri. Status agen perubahan dengan lekas di lepaskan, dan diambil alih oleh adik angkatan.
            Hingga tiba waktunya penasbihan gelar sarjana, para sarjana akan menjadi makhluk ambisius. Tawaran-tawaran pekerjaan dari korporat maupun lowongan beasiswa untuk melanjutkan ke strata selanjutnya seperti sebuah takdir yang harus disegerakan. Meraih pendapatan besar atau kembali berstatus menjadi mahasiswa (S-2) adalah sebuah idaman. Mendapat pasangan dan berkeluarga adalah sebuah tujuan.    

Senin, 12 Mei 2014

Perkampungan di Yogyakarta: Sebuah Sejarah Singkat

Yogyakarta sebagai sebuah Kerajaan Islam yang eksistensinya masih terjaga sampai saat ini di dalamnya tersimpan berbagai keanekaragaman. Keanekaragaman itu salah satunya tercermin dari munculnya kampung-kampung yang dibangun berdasarkan profesi, etnis ataupun status sosial di masyarakat.
Memasuki abad ke-20 Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia dihadapkan pada sejumlah persoalan rumit mengenai pertambahan penduduk, tanah dan lahan pemukiman dan usaha. Selain itu isu-isu mengenai ledakan penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta fenomena urbanisasi mulai mengemuka di Jawa. Isu-isu ini kemudian menjadi sebuah persoalan yang harus dijawab pemerintah kolonial. Sementara itu politik etis yang diresmikan Ratu Wilhelmina pada 1901 mempunyai beberapa agenda mendasar terkait dengan masalah pendidikan, emigrasi dan irigasi dan kebijakan tentang penataan kampung atau kampong verbeteringen, penanggulangan kesehatan, pendirian lumbung desa, pendirian bank perkreditan rakyat dan lain sebagainya. Dan beberapa solusi tersebut dianggap sebagai jalan terbaik untuk menjawab berbagai persoalan yang mengemuka pada masa itu. Semua itu secara tidak langsung turut melatari perkembangan kota-kota di Indonesia termasuk Yogyakarta.
Pesatnya modernisasi, industrialisasi, dan komersialisasi di Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar kota dan mengakibatkan terjadinya arus urbanisasi. Selain itu interaksi yang terjadi dari berbagai lapisan masyarakat dan etnis semakin menambah plural komposisi masyarakat Yogyakarta. Dengan semakin pluralnya masyarakat perkotaan di Yogyakarta, maka timbulah perkampungan homogen yang dihuni oleh etnis tertentu dan masyarakat yang mempunyai profesi tertentu.

Munculnya Pemukiman Bangsa Eropa
Rumah bangsa Eropa telah ada sekitar abad 19, tepatnya setelah perang diponegoro. Pasca perang tersebut kompleks di sekitaran kraton mulai berdiri rumah residen Belanda, Loji Kebon termasuk juga Vredeburg atau Loji Besar. Pada waktu itu orang-orang Eropa hanya berjumlah 400 jiwa dan bermukim diantara kraton dan Vredeburg. Sebagian lagi tinggal di timur benteng yang kemudian dikenal dengan sebutan Loji Ketjil, letak lebih tepatnya untuk saat ini adalah mulai dari kompleks pertokoan buku shopping hingga perempatan gondomanan. Loji Ketjil lainnya terletak di komplek taman pintar.

Perkembangan Pemukiman
Pada awalnya perkembangan pemukiman di Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Seiring berjalannya waktu, lambat laun pemukiman warga tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan malioboro hingga tugu. Pemukiman tersebut dinamakan sesuai dengan profesi para warga yang sebagian besar mendiaminya.
Kraton Yogyakarta di kelilingi oleh benteng  dan bangunan yang ada di dalamnya disebut “jero beteng” daerah tersebut meliputi: Alun-alun utara, Tratag, Pagelaran, Stingghil, Prabayksa, Kraton Kilen, dan Alun-alun kidul.
Pemukiman para abdi dalem digolongkan berdasarkan jenis pekerjaannya. Kampung Kemitbumen dihuni oleh para kemitbumi yang bertugas menjaga kebersihan halaman kraton, kampung Siliran dihuni oleh para silir yang bertugas mengurus seluruh lampu kraton, kampung Gamelan dihuni oleh para gamel yang bertugas menguurusi kuda milik Sultan, kampung Pesindenan dihuni oleh para sinden, kampung Patehan ditinggali oleh para abdi dalem yang mengurusi minuman di kraton, kampung Nagan didiami oleh para penabuh gamelan kraton dan yang terakhir kampung Kauman yang dihuni oleh para ulama kraton.
Selain perkampungan yang dihuni oleh para warga yang mempunyai profesi serupa, ada juga perkampungan tempat tinggal para bangsawan seperti Pakuningratan, Jayakusuman, Ngadikusuman, Panembahan, Mangkubumen, dan Suryadiningratan.
Adanya pemukiman “jero beteng” berarti ada pula pemukiman di luar benteng atau “jaba beteng.” Pemukiman ini dihuni oleh para prajurit kraton, mereka bertempat tinggal di kampung Bugisan, Surakarsan, Nyutran, Mantrijeron, Ketanggungan, Prawirataman, Jagokaryan, Daengan, Patangpuluhan, serta Wirabrajan. Selain itu ada juga perkampungan orang Madura yang bernama Menduran, dan perkampungan para hamba istana seperti Pajeksan yang ditinggali para jaksa, kampung Gandekan dihuni oleh para pesuruh, sedangkan tukang kayu menghuni kampung Dagen, sementara itu para tukang batu menempati kampung Jlagran dan ahli bangunan bermukim di Gowongan.

Pemukiman Bangsa Asing
Selain di Loji Besar dan Loji Ketjil, bangsa Eropa juga bermukim di daerah kota baru dan sagan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa bangunan yang bercorak indies. Selain kawasan pemukiman Eropa, terdapat juga pemukiman bangsa lainnya seperti Arab dan Cina. Daerah pasar Kranggan dan Pecinan adalah wilayah yang dulunya menjadi basis pemukiman etnis Tionghoa, sedangkan bangsa Arab menghuni wilayah yang dinamakan Sayidan.

Kesimpulan
Munculnya perkampungan homogen di kota Yogyakarta tentu semakin menambah khasanah kebudayaan di kota ini. Kampung-kampung yang dihuni oleh para pegawai seprofesi dan satu kelompok ras tertentu akan menambah rasa kekerabatan diantara mereka masing-masing. Meski saat ini kampung-kampung tersebut tidak lagi murni homogen, namun nama-nama perkampungan tersebut tidak ada yang berubah. Bahkan wilayah-wilayah seperti di Kranggan dan Kota Baru meninggalkan corak bangunan khas yang siapa saja sudah pasti bisa menebak siapa mayoritas masyarakat yang bermukim di situ.

Referensi:
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008.
Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu. 2008.
Hamid Algadri. Islam Dan Keturunan Arab. Bandung: Mizan. 1984.